Sunday 1 November 2015

Tokoh Seni Rupa Indonesia

TOKOH SENI RUPA


Affandi
lahir di Cirebon tahun 1907
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru, tukang sobek karcis dan pembuat gambar poster film bioskop di Bandung. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi.


Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.

Tahun 1945, masa perjuangan Kemerdekaan, Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi "Merdeka atau mati!", merupakan ucapan dalam penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Soekarno meminta Affandi membuat poster bertuliskan "Bung, Ayo Bung" , slogan ajakan perjuangan, ide penyair Chairil Anwar.


Kemampuan Affandi sangat menonjol hingga ia berkesempatan study ke India. Tetapi sesampainya disana niat untuk study kandas. Perjalanannya panjang hingga Affandi dijuluki Sang Maestro Seni Lukis Ekspresionisme.


 

Barli Sasmitawinata
lahir di Bandung 18 Maret 1921
Barli merupakan anggota Kelompok Lima Bandungbersama Hendra Gunawan, Affandi, Sudarso, dan Wahdi. Jos Pluimentz seorang seniman Belgia sempat menjadi guru Barli dalam menimba ilmu Realismenya. Setelah itu kemudian Barli berguru pada Luigi seorang pelukis Italia yang juga tinggal di Bandung. Di studio ini pula Barli mulai berkenalan dengan Affandi, yang waktu itu masih mencari uang dengan menjadi model bagi Luigi. Di studio milik Luigi itu diam-diam Affandi ikut belajar melukis.

Tahun 1948 Barli mendirikan Sanggar Seni Rupa Jiwa Mukti. Lalu, , di tahun 1958 sepulang dari Eropa, Barli kembali mendirikan studio Rangga Gempol. Sekarang Barli memiliki Bale Seni Barli di Padalarang. Karya-karya Barli yang realistik tersebut diakui sebagai karya yang masyhur, sehingga Barli disebut-sebut sebagai Maestro Realisme Indonesia.
Baca Selengkapnya.......atau download klik disini
lihat lukisan karya Barli



Basoeki Abdulah
lahir di Surakarta, 25 Januari 1915
 
Ia merupakan cucu Doktor Wahidin Sudirohusodo tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia.

Basuki Abdulah pernah menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta dan karya-karyanya menghiasi istana-istana negara dan kepresidenan Indonesia.
Basoeki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa di Akademik Seni Rupa (Academic Voor Beldeende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan menyelesaikan studinya dalam waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA).


Karya Basoeki Abdulah yang realistik-naturalistik banyak menggambarkan wanita cantik, potret keluarga kerajaan dan kepala negara, pemandangan alam dan perjuangan yang digambarkan cenderung lebih indah dari aslinya.






 
 

Lucia Hartini
lahir pada 10 Januari 1959 di kota Temanggung.
Pernah bersekolah di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta antara tahun 1976-1979 (tidak tamat) setelah sebelumnya sekolah di SKP dan dikenal pandai membuat desain baju drumband.

Lucia dijuluki perempuan Sanento “arus baru” seni lukis kontemporer, karena karyanya membuka wacana baru tentang teknis dan tema surealistiknya. I pernah mendapat penghargaan Pratitha Adhi Karya 1976 dan 1977 dari SSR.


Lucia mengakui tidak mengetahui adanya perkembangan aliran Surealisme di Eropa sebelumnya, apalagi teori psikoanalisis Sigmund Freud yang dijadikan fondasinya. Baginya melukis – sebagaimana menjadi ibu rumah tangga – adalah pekerjaan yang menyenangkan, dan ia sepenuhnya mengikuti kata hatinya. Jika kemudian lukisannya menjadi surealistik, diakuinya karena ia dekat dengan “alam lain”, apalagi kepercayaannya memungkinkan untuk mengalami atau merasakan alam tersebut. Pelukis introvert yang menjalani hidup sebagai vegetarian ini terlahir dalam keluarga yang memiliki kemampuan untuk “melihat” dunia atau realitas yang tersembunyi (vision). Bakatnya ini diturunkan dari kedua orang tuanya, dan semakin diperkuat dengan kisah-kisah supranatural yang didengarnya semasa kecil. Pengalaman semasa kanak-kanak yang membekas dalam ingatannya ini sering juga hadir dalam karyanya.


Proses berkarya Lucia mengandalkan daya ingat dan tidak pernah dimulai dengan sketsa (kini, sebelum berkarya ia menyempatkan diri bermeditasi agar konsentrasinya lebih terpusat).

Media yang dipakai Lucia berupa cat minyak di atas kanvas dengan teknik akademis. Hal yang menarik dalam teknik melukisnya adalah penerapan “teknik arsir” (hatching) pada seluruh permukaan bidang lukisnya untuk menegaskan volume, cahaya, ruang, dan tekstur. Arsir dibuat dengan kuas berukuran kecil sehingga diperlukan tenaga ekstra dan kecermatan dalam pengerjaannya. 


Widayat
Lahir di Kutoarjo, 2 Maret 1919

Karirnya sebagai pelukis bermula di Bandung dengan melukis pemandangan alam bercorak "mooi-Indie" untuk para pelancong. Seperti kebanyakan pemuda ketika masa pergerakan kemerdekaan, kemudian ia ikut dalam barisan kaum pergerakan. Keahlian melukisnya tersalurkan dalam pembuatan poster-
poster propaganda anti-Belanda. Setelah masa pergolakan itu ia masuk Akademi Seni Rupa Indonesia yang baru didirikan di Yogyakarta. Ia lulus pada tahun 1954, kemudian mengajar di akademi tersebut sampai masa pensiun di tahun 1988. Ia pernah berkesempatan mengunjungi Jepang untuk mempelajari penataan taman dan pembuatan keramik selama dua tahun, 1960-62.

Karya Widayat adalah contoh pencapaian paripurna corak dekoratif dalam seni rupa modern Indonesia. Ia mengolah kekuatan penataan ragam hias yang sungguh teliti seperti yang terlihat dalam tradisi hiasan batik dan seni ukir tradisional dan memadukannya dengan konsep komposisi dan citarasa warna modern. Karenanya, karya-karyanya pernah dijuluki sebagai lukisan bercorak "dekoratif-magis".


Dalam perjalanan karirnya sebagai pelukis, ia banyak menghasilkan karya dengan berbagai media dan teknis seperti Seni Grafis, Keramik dsb. Widayat memperoleh sejumlah penghargaan: Anugerah Seni dari Pemerintah RI, 1972;

S. Sudjojono

Lahir di Kisaran, Sumatra, 14 Desember 1917
Pada tahun 1937, bersama sejumlah rekan pelukis, ia mendirikan Persagi, perhimpunan pelukis yang bercita-cita melahirkan vitalitas baru dalam praktek seni lukis Indonesia.Sebagai tokoh utama dalam organisasi ini, Sudjojono tak sekedar melukis dalam corak realismenya yang khas dengan bobot semangat kerakyatan dan nasionalisme, tapi juga merumuskan pikiran-pikiran tentang corak seni lukis baru yang dicita-citakannya. Dan dari berbagai rumusan pemikirannya inilah peran penting Sudjojono dalam perkembangan seni rupa Indonesia tak akan pernah terhapus.

Memasuki masa-masa perjuangan kemerdekaan, Sudjojono, bersama Affandi dan Hendra Gunawan, aktif terlibat dalam berbagai organisasi pemuda dan seniman. Mereka melahirkan dan menghidupkan tradisi sanggar yang jadi lembaga pendidikan alternatif di masa-masa sulit itu. Sampai tahun 50-an dan 60-an, Sudjojono makin terpikat dengan gagasan kerakyatan dan sosialisme yang dibawa PKI. Di masa ini, sejumlah karyanya menjadi kurang ekspresif dan mencoba menghadirkan "Realisme sosialis". 


Raden Saleh
Lahir di Terboyo tahun 1814A.A.J. Paijen, seorang seniman Belgia yang merupakan guru lukis Raden Saleh tertarik dengan kemampuan Raden Shaleh, sehingga Paijen berinisiatif memberikan bimbingan. Paijen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.

Kemudian Paijen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Konon usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal Van Der Capellen yang memerintah waktu itu (1819 – 1826), setelah ia melihat karya “ajaib” Raden Saleh. Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, bahasa Jawa, dan bahasa Melayu.


Penulis biografi Raden Saleh, Ny. J. de Loos Haaxman menuturkan bahwa Raden Saleh adalah pelukis luar biasa. Ia pemilik bakat tiada duanya di negeri Belanda sampai kapanpun. Ia tak akan pernah kehilangan daya pikat dan daya tarik sampai kapanpun.
Baca Selengkapnya.........Atau Download disini
.........lihat kumpulan karya Raden Shaleh disini

No comments:

Post a Comment